Review Buku : Negeri di Ujung Tanduk
Review buku : Negeri di Ujung Tanduk
Genre : Action, politik, drama
Penulis : Tere Liye
Thomas kembali pada aksi-aksi brutal seperti biasa. Saya sangat
menantikan momen-momen yang membuat tensi saya naik dan wajah yang tegang saat
membacanya. Saya ingin tahu, misteri apa yang akan dibongkar daam sekuel Negeri Para Bedebah ini. Dan, bedebum, buku dibuka(ala-ala tere liye hehehe….) membaca
kata demi kata, membuka lembar demi lembar, menantikan aksi-aksi dan rencana pintar
nan licik ala Thomas. Sangat ditunggu.
Berbeda dengan Negeri Para Bedebah, di Negeri di Ujung Tanduk lebih banyak bercerita tentang politik, para mafia khususnya mafia
hukum, kebobrokan sistem birokrasi dan segala macam tetek bengek permainan
politik yang ada di pemerintahan. Dari kepolisisan,
jaksa agung, menteri-menteri,
anggota DPR, sampai pegawai kelurahan, RT, RW semua membentuk family tree, yak
family tree mafia hukum. Dari yang terbawah hanya seorang pegawai kelurahan
yang menyantap uang administrasi ktp hingga yang paling atas, pejabat
pemerintahan yang berdasi, gagah, dan sering muncul di televisi. Siapa saja
tidak tahu mana lawan mana kawan dalam dunia politik. Dan novel ini, membuka
wawasan saya tentang permainan politik. Diluar terlihat aman, tak ada yang
janggal, tetapi didalamnya, bobrok sebobrok jalanan pantura, kacau, benar-benar
negeri di ujung tanduk.
Tere liye membuka cerita dengan menarik, seperti biasa.
Thomas, tokoh utama di cerita ini diceritakan sedang menghadiri semacam konferensi
di Hongkong. Bukan membahas tentang keuangan dunia, tetapi membahas politik. Memberikan pendapat-pendapatnya
tentang politik dengan cara yang santai. Sekilas membaca novel ini, saya
langsung yakin, inilah Thomas yang saya kenal, menjawab setiap pertanyaan
dengan jawaban yang tak pernah dipikirkan orang lain, selalu membuat orang bertanya-tanya,
tetapi dia sangat santai untuk menjelaskannya sesudah itu. Pemikiran yang
nyeleneh dan selalu bisa membuat hadirin terhipnotis. Akh, saya semakin
nge-fans sama tokoh fiksi ini.
Pembuka yang manis membuat saya semakin tertarik membaca novel
ini, dan dilanjutkan aksi-aksi dari Thomas dan para bedebah lainnya. Misteri
yang masih menggantung di Negeri Para Bedebah satu perrsatu mulai terbongkar.
Sedikit demi sedikit membuka luka lama Thomas yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian sekarang. Para pemain lama pun beberapa muncul kembali dan
seperti biasa, sangat membantu jalan kaburnya Thomas, tentu dalam artian yang
luas. Tak hanya pemain lama, hadir juga kemunculan orang baru salah satunya
Maryam, wartawan keras kepala yang akan menemani Thomas dalam setiap aksinya.
Di pertengahan, saya menyadari kalau tensi ketegangan mulai
menurun. Beberapa masa lalu mulai diungkit kembali. Membuat saya semkin paham,
awal mula dari semua kejadian ini. Dan saya tetap menunggu aksi-aksi brutal
yang disusul aksi penyelamatan ntah darimana asalnya. Tapi saya rasa, disini
tidak terlalu menonjolkan actionnya. Thomas masih bisa lebih tenang sedikit,
walaupun diburu waktu. Saya melihat Thomas yang sedikit berbeda dari novel
sebelumnya, seakan menjelaskan bahwa Thomas sudah berkembang setahun belakangan
ini. Thomas yang tadinya lebih licik nan egois, sekarang dia lebih ditonjolkan
sisi kemanusiaannya dan tentu, idealisme
seorang pemuda. Secara pribadi, saya agak kecewa, ntah kenapa, tapi saya merasa
Thomas lebih kalem disini. Yah sekadar opini saja.
Saya tetap menunggu aksi brutal di tiga perempat novelnya,
tetapi hanya beberapa aksi kecil dan beberapa aksi lumayan(tidak terlalu besar),
tidak terlalu heboh. Mungkin, tere liye menyiapkan aksi lebih dipenghujung
cerita, membuat surprise untuk pembaca. Tetapi jujur, saya merindukan
ketegangan yang terus menerus saaat membacanya, membuat saya bahkan ikut-ikutan
khawatir akan keadaan Thomas, khawatir tidak diburu waktu, khawatir bakal
ketahuan dan kekhawatiran lainnya. Saya merindukan itu, tetapi bukan berarti negeri
di ujung tanduk tidak membuat saya gelisah, tegang, khawatir. Beberapa chapter
sukses mengahdirkan rasa tak nyaman, kesal, ingin rasanya membanting buku
apalagi pada dua perempat novelnya. Tetapi semakin lama, semakin berkurang
ketegangan.
Alhasil, paruh awal novel yang sudah dibangun tere liye dengan
sangat baik, sedikit demi sedikit kehilangan temponya. Mungkin ini akibat saya
terlalu banyak membanding-bandingkan sekuel ini dengan novel sebelumnya,
walupun mau tidak mau dibandingkan.
Maryam, jujur saja tak membuat banyak perubahan dalam novel
ini, saya merasa ada yang kurang dengan Maryam. Walaupun dia yang menemani
Thomas dalam menghadpi setiap aksinya, tetapi, Maryam tak jauh sebagai pemanis
cerita, pelengkap tokoh utama, agar tak sendirian. Saya bahkan lupa kalau
Thomas di temani Maryam saat mengahdapi situasi genting. Maryam seperti ada dan
tiada. Mungkin karna sedikitnya Maryam berbicara, atau entahlah.
Dan benar saja, dipenghujung cerita, ada aksi brutal yang
saya tunggu. Saya siap di buat khawatir, dibuat tegang, kesal, ingin membanting
buku dan berkata kasar. Mungkin inilah surprisenya, tak maasalah, walaupun,
memang lagi-lagi saya dibuat kecewa dengan actionnya. Walupun action kali ini
lebih berkelas (kamu akan tahu kenapa actionnya lebih berkelas kalau sudah
membaca bukunya :D), tetapi tetap ada yang kurang dihati saya. Saya sendiri
bingung apa itu. Action yang tidak terlalu lama, dan seperti terburu-buru,
menurut saya. Akh saya ingin lebih khawatir dari ini, hey tere liye! Buat saya
khawatir lagi!
Tapi poin plusnya adalah selalu ada keterkaitan dalam novel ini. Tokoh yang diceritakan tidak
hanya numpang lewat, tapi akan ada tempo sendiri, akan ada kisahnya sendiri untuk tokoh-tokoh tersebut. Detail kecil pada
cerita masa lalu pun berkaitan dengan kejadian yang selanjutnya. Membuat saya lebih
paham akan situasi, memang khasnya tere liye kalau yang begini.
Pada akhirnya, Tere liye sudah cukup membuat saya tegang,
khawatir dan kagum. Walaupun tetap saja saya ingin yang lebih dari itu. Manusia
memang tidak pernah merasa puas.
by
agembul
Komentar
Posting Komentar